Orang Medan, lebih khusus lagi orang Batak, kerap dianggap sebagai pribadi yang temperamental. Emosinya mudah naik, belum lagi nada bicara dan volume suaranya yang tinggi dan sangat terus terang. Perlukah dikendalikan?
“Kalau tidak berpikir panjang, saya bisa naik pitam saat bicara dengan keluarga suami saya,” ujar Lita, wanita Jawa yang menikah dengan pria Batak. Bagi Lita, bicara dengan nada tinggi dan volume keras, serta blak-blakan merupakan hal yang sama sekali ditentang dalam ajaran keluarganya.
“Kadang saya terpancing mau marah karena menganggap mereka tidak sopan kalau bicara. Tapi terus ingat lagi, oh ya mereka orang Batak. Habis, suami saya karakternya sudah seperti orang Jawa sih,” tambah Lita yang bertemu suaminya saat kuliah di Yogya itu.
Tapi jangan salah kira dulu. Nada tinggi belum bisa dijadikan patokan bahwa orang Medan atau orang Batak temperamental, kata sosiolog sekaligus antropolog dari Universitas Negeri Medan, Prof. DR. Bungaran Antonius Simanjuntak.
Nada tinggi yang biasa keluar dari mulut orang Medan biasa dijumpai pada orang Batak dari pegunungan, seperti daerah Samosir. “Karena di sana wilayah perkampungannya jauh-jauh, di daerah pegunungan pula. Sehingga mereka harus berteriak-teriak untuk memanggil. Tapi hatinya belum tentu keras, sehingga tidak terpancing emosinya. Apalagi yang sudah terdidik,” tutur Prof. Bungaran.
Atas dasar itulah hipotesa yang mengatakan orang Medan atau orang Batak itu temperamental baginya tidak benar. Hal senada juga dikatakan Dra. Mustika Tarigan. Dosen Psikologi Perkembangan di Fakultas Psikologi Universitas Medan Area. Nada tinggi memang menjadi karakter orang Medan, tapi nada tinggi tidak otomatis menjadi indikasi temperamental.
“Karakter mereka memang ekspresif. Dan cara mengekspresikannya sendiri lebih ekstrem, jadi terkesan emosional. Tapi tidak semuanya temperamental,” katanya. Ia maklum bagi orang dari daerah lain karakter seperti itu terkesan berlebihan.
Marah Itu Perlu
Temperamental merupakan keadaan yang terkait dengan emosi. Contohnya orang yang mengendarai mobil lalu mengumpat, “Kurang ajar!” setelah diserobot secara tiba-tiba oleh tukang becak, merupakan luapan dari emosi dalam bentuk marah.
“Ungkapan marah itu diperlukan, karena manusia bukanlah superman yang bisa mengemas diri semanis mungkin saat marah. Yang perlu diingat adalah, boleh marah tapi lihat ketupatnya,” tambah Mustika. Ketupat yang dia maksudkan adalah keadaan, waktu dan tempat. Perlu diperhatikan juga obyek kemarahan, kadar kemarahan, serta tujuan dari amarahnya itu sendiri.
Misalnya, orangtua yang marah kepada anaknya mempunyai tujuan baik, supaya anaknya menjadi baik. “Tapi ada juga yang untuk show off, menunjukkan bahwa dirinya punya power atau kekuasaan. Nah, itu tidak benar,” terangnya.
Nada Tinggi
Nada tinggi yang diidentikkan dengan cara bicara orang Medan tidak selalu bisa disamakan dengan kemarahan, walaupun perasaan marah orang Medan lebih banyak diekspresikan dengan nada tinggi dan bahasa tubuh yang terlihat jelas.
Di satu sisi nada tinggi yang ekspresif itu bisa membuat lega, enak, dan puas orang yang mengekspresikannya karena ’sampah’ yang berada dalam dirinya keluar. Tapi, seperti diakui oleh Dra. Mustika, dampaknya bisa membuat orang lain tersinggung dan tidak bisa menerima ekspresi amarah yang terlontar itu.
Belum lagi adrenalin orang yang bersangkutan juga akan naik. Apa akibatnya? “Ia akan cepat lelah. Makanya, orang yang marah itu akan capek karena energinya terkuras. Itu sebabnya untuk mendinginkan diperlukan minuman,” ucapnya.
Di masyarakat lain bisa jadi kemarahan tetap diekspresikan dengan nada lembut atau malah diam lalu meninggalkan orang yang membuatnya marah tadi. Menurut Dra. Mustika, “Diam atau escape sebentar dari amarah merupakan cara mengontrol amarah, dan baru dicetuskan kemudian bila situasinya bagus. Kita bisa bilang, ’saya kok jadi marah ya dengan sikap kamu’. Bukan dengan kata-kata, ‘kamu membuat saya marah’. Karena kalau begitu, kita menyalahkan orang lain.”
Perlu Dikendalikan
Bagaimana pun menekan amarah itu tidak bagus, kata Dra. Mustika, sedangkan yang benar adalah mengontrol atau mengendalikannya. Ia mengakui bahwa untuk mengontrol atau mengendalikannya tidak mudah, butuh waktu mempelajarinya.
“Apa boleh buat, kita harus mengelola emosi. Caranya bisa dengan banyak bergaul atau meminta feedback atau umpan balik dari orang lain. Lalu juga harus menyadari bahwa permasalahan tidak akan selesai dengan luapan emosi,” tutur perempuan yang juga bergerak di LSM Pusat Kajian Perlindungan Anak ini.
Mengapa orang Batak yang tinggal di Pulau Jawa misalnya bisa tidak seemosional yang di Medan? Jangan lupa faktor lingkungan yang turut mempengaruhi emosi.
“Komunitas atau lingkungan akan berpengaruh terhadap diri seseorang. Maka orang Medan yang telah banyak bergaul dengan masyarakat heterogen, emosinya juga lebih terkontrol.
Tapi siapa pun kita, jika mau marah sebaiknya pertimbangkan dulu baik buruknya supaya tidak membuat orang lain maupun diri sendiri sakit.
Sumber
Recent Comments